Teks foto : Urgensi Revitalisasi Bhinneka Tunggal Ika Menuju Konsolidasi Demokrasi
Jakarta – Plt, Deputi Bidang Koordinasi Kesatuan Bangsa Kemenko Polhukam, Janedjri M. Gaffar, mengingatkan kepada para peserta PPRA LXVII Lemhannas RI tahun 2024 tentang pentingnya mengelola keberagaman bangsa melalui revitalisasi Bhinneka Tunggal Ika ditengah tantangan bangsa di era demokrasi.
“Pengelolaan keberagaman yang berisi perbedaan identitas dan pandangan politik mensyaratkan adanya kesepakatan “tata nilai bersama” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara”, ujar Janedjri saat menjadi narasumber pada kegiatan Diskusi Panel “Sub Bidang Studi Bhinneka Tunggal Ika” PPRA LXVII tahun 2024 dengan tema “Revitalisasi Bhinneka Tunggal Menuju Konsolidasi Demokrasi” di Ruang Bhinneka Tunggal Ika, Gedung Pancagatra, Lemhannas RI, Jakarta, Selasa (28/5/2024).
Keberagaman bangsa Indonesia telah diakui dan ditempatkan sebagai salah satu identitas kebangsaan Indonesia sejak masa kebangkitan nasional.
“Pengakuan atas keberagaman yang dirajut menjadi persatuan kebangsaan inilah yang dituangkan dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai salah satu kesepakatan dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”, ujar Plt. Deputi Bidang Koordinasi Kesatuan Bangsa.
Mantan Sekjen Mahkamah Konstitusi ini menyampaikan bahwa dalam mengelola perbedaan, bangsa Indonesia telah memilih sistem demokrasi dengan pertimbangan bahwa sistem demokrasi inilah yang memberikan pengakuan yang sama terhadap seluruh warga negara sebagai sumber kedaulatan. Dengan kesamaan kedudukan dari setiap warga negara, maka keberagaman yang kita miliki tidak menjadi penghalang bagi persatuan dan kesatuan bangsa.
Prinsip negara demokrasi yang dipilih oleh para pendiri bangsa disandingkan dengan prinsip negara hukum yang secara tegas dituangkan dalam UUD 1945.
“Karena itu, prinsip negara demokrasi tidak dapat dipisahkan dan harus dilihat berpasangan dengan prinsip negara hukum yang membentuk negara demokrasi berdasarkan hukum (constitutional democracy) dan negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat)”, tegas janedjri
Dalam konteks persatuan dan kesatuan bangsa, Pemilu dan Pilkada menjadi mekanisme untuk mengelola keberagaman pandangan dan aliran politik serta mekanisme kontestasi kekuasaan.
Janedjri menekankan bahwa keberagaman yang berisi perbedaan identitas dan pandangan politik tentu memiliki potensi berkembang menjadi konflik dan perpecahan jika tidak dijaga dalam hubungan harmonis antar-komponen bangsa.
“Harmoni mensyaratkan adanya kesepakatan “tata nilai bersama” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila”, kata Plt. Deputi Bidang Koordinasi Kesatuan Bangsa.
Hal senada juga disampaikan Prof. Mannake Budiman, Ph.D dan Dr. Endang Mariani, M.Psi yang menekankan pentingnya peranan perguruan tinggi dan organisasi non pemerintah dalam kebijakan Revitalisasi Bhinneka Tunggal Ika Menghadapi berbagai Tantangan dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara Menuju Konsolidasi Demokrasi.
“Perguruan tinggi adalah lahan subur untuk edukasi dan praktik baik demokrasi, untuk itu nalar berpikir kritis harus ditanamkan pada proses pembelajaran. Kampus harus menjadi lahan yang bebas untuk menyatakan pendapat, melakukan kajian, dan menguji kebenaran. Kampus juga harus menjadi ekosistem kebhinnekaan untuk demokrasi”, ujar Mannake, Guru Besar FIB UI tersebut.
Dr. Endang Mariani, M.Psi menyampaikan pentingnya peranan organisasi non pemerintah dalam kebijakan Revitalisasi Bhinneka Tunggal Ika menghadapi berbagai Tantangan dalam Kehidupan Bermasyarakat. “Organisasi non pemerintah memiliki peran strategis dalam demokrasi, diantaranya mendorong inovasi, keterwakilan, pengembangan, pembangunan dan aspirator suara publik”, kata pengamat sosial budaya tersebut.
Kegiatan Diskusi Panel “SBS BTI” PPRA LXVII Lemhannas RI tahun 2024 tersebut dihadiri oleh 100 orang peserta yang terdiri dari unsur TNI AD, TNI AL, TNI AU, Polri, Lembaga Negara, Kementerian, Pemerintah Provinsi dan Ormas. Kegiatan Diskusi Panel juga menghadirkan narasumber lain yaitu Prof. Mannake Budiman, Ph.D (Guru Besar FIB Universitas Indonesia) dan Dr. Endang Mariani, M.Psi (Pengamat Sosial Budaya Universitas Indonesia), sebagai panel.
Humas Polhukam RI